Kabinet Pembangunan I (1968-73), hanya terdiri dari 24 Menteri dan 3 Pejabat Setingkat Menteri. Kabinet Pembangunan II lbh ramping, hanya 22 Menteri dan 3 Pejabat setingkat Menteri ( Jaksa Agung, Gubernur Bank Sentral dan Pangkopkamtib).
Sesudah OTONOMI DAERAH dan Teknologi Informasi yang semakin maju, seharusnya birokrasi semakin ramping, tetapi justru sebaliknya SEMAKIN GEMUK.
Sekarang ada 34 Kementerian dan lebih dari 100 Lembaga Non Kementerian maupun Lembaga Non Struktural dan itu semua dibiayai APBN.
Padahal di kebanyakan negara maju, termasuk Jepang dan AS, kabinet hanya BELASAN Kementerian dan sedikit Lembaga Non Kementerian.
Ma'af, Kabinet Kerja, penyerapan anggaran terlalu rendah. Direshuffle pun semakin HIRUK PIKUK.
Birokrasi TAMBUN dan pelayanan lamban. Yang aktual di Pelabuhan maupun Ijin Berlayar bagi nelayan tradisional.
Bukan hanya birokrat pusat yang lamban, tapi juga daerah, paling tidak hal ini yang dikeluhkan Gubernur DKI AHOK.
Penghasilan aparat sekarang sudah jauh lebih baik dibandingkan era Soeharto, tapi korupsi semakin menjadi-jadi. Bahkan ada ungkapan penghasilan aparat, termasuk Hakim, semakin tinggi, suap tidak hilang, tetapi SEMAKIN TINGGI.
Kita jadi bertanya-tanya apa gunanya PENGAWAS INTERNAL dan PENGAWAS EKSTERNAL ?
Banyak daerah yang kekurangan PNS karena akhir-akhir ini jarang ada pengangkatan CPNS.
Kalau birokrasi kita masih gemuk, selamanya kita akan kekurangan pegawai.
Reformasi Birokrasi agaknya hanya menjadi WACANA sejak SARWONO KUSUMAATMADJA menjadi MenPAN.
Tidak semua hal harus diurusi Pemerintah. Yang lebih penting Pemerintah bisa MENGAJAK PARTISIPASI MASYARAKAT.